Wednesday, October 13, 2004

Como Fue



Adakah cinta yang tak bersaput misteri? Dan jika adapun, masihkah ia menarik semenarik cinta? Adakah kita pernah sadar ketika jatuh cinta? Adakah seseorang sadar tatkala cinta menguap dari satu hubungan?

Seorang teman membahasakan kesadaran itu sebagai ‘click’. Hingga saat ini ia masih saja setia berburu ‘click’ nya. Sebuah titik dalam waktu, mungkin semacam momen pencerahan, ketika cinta menjemput dalam kecemerlangan kesadaran. Entah sampai kapan ia mesti berburu. Tapi toh mungkin juga, seperti segala perburuan lainnya, harta terbesar dari sebuah pencarian adalah proses mencari itu sendiri ....

Di pihak lain, Ibrahim Ferrer menutup album solonya -yang penuh sihir irama kuba- dengan satu lagu yang judulnya ‘Como Fue’, ‘How it was’, ‘Gimana ‘sih dulunya’ dan senandungnya terasa ringan di telinga seperti juga di hati:

“No se decirte como fue.
Ni se explicarme que paso,
pero de ti me enamore.”

‘Aku nggak bisa lagi cerita gimana dulunya.
Dan jangan pula minta aku cerita tentang apa yang tengah terjadi,
tapi aku tahu aku cinta padamu.’

Mungkin cinta itu memang nggak untuk ditelaah macam-macam. Nggak untuk diterangkan panjang lebar. Digambarkan, dituliskan, dinyanyikan, mungkin iya .... tapi semua itu bukanlah catatan rapi perihal cinta, semua itu adalah monumen pengingat bagi cinta oleh semua yang pernah jatuh cinta ...

Como Fue?
Buat apa sih tanya-tanya?

Friday, August 27, 2004

Black Workers Remember

Memphis, 1933.Meski perbudakan di Amerika sudah dihapuskan berpuluh tahun sebelum 1933, namun prasangka dan diskriminasi terhadap mereka yang berkulit gelap masih tetap marak dipraktekan. Itu adalah hari-hari di mana polisi dapat menciduk siapa saja yang berkulit gelap dari rumah mereka, dengan tuduhan yang direka-reka, membawanya ke satu sudut kota, menggebukinya hingga patah leher, dan meninggalkannya di sana.Fannie Henderson, 18 tahun. Terbangun di tengah malam, mendengar bentakan interograsi sekelompok polisi. Seorang pemuda negro terjerat masalah malam itu, di gang yang memisahkan rumah Fannie dengan gedung di sebelahnya. Entah apa masalahnya, para polisi mulai memukuli pemuda tadi, lagi dan lagi, tangan dan kakinya diborgol, ia tak bisa lari. Fannie Henderson berlari ke kamar lain, di mana temannya tidur. Namun temannya memilih untuk tak hirau akan apa yang tengah terjadi, 'pergilah tidur, tak perlu kau turut campur'.Namun Fannie tak pergi tidur lagi, ia memilih untuk berdiri di depan jendela dari mana ia bisa melihat semua yang terjadi. Ia mendengar dan melihat pemuda itu dipukuli hingga setengah mati, tak banyak yang bisa ia lakukan. Ia melihat moncong senapan diarahkan ke arah onggokan tubuh yang menggigil minta dikasihani. Fannie muda mendengar senapan-senapan menyalak, dan tubuh yang diterjang peluru mengejang dijemput maut. Ia tak pergi tidur, ia memilih untuk jadi saksi.Dan esoknya, Fannie mencari tahu siapa pemuda yang sial malam itu. Ditemukannya alamat, maka iapun pergi ke rumah yang tengah berduka. Istri pemuda itu sedang sakit, terbaring lemah di tempat tidur, ia telah dengar apa yang membuat suaminya tak pulang malam tadi. Fannie tinggal di rumah yang tengah berduka itu, dua hari lamanya. Menghibur dan menawarkan tangan yang mengasihi, menangis bersama, memberi diri untuk berbagi kehilangan.Di kemudian hari, ketika surat kabar memberitakan bahwa pemuda negro itu terbunuh ketika melarikan diri dari mobil polisi, Fannie menuliskan kesaksiannya ke NAACP (National Association for Advancement of Coloured People), lembaga nasional yang bergerak di bidang advokasi kulit berwarna. Ia berdiri bersaksi, gadis muda yang baru 18 tahun, bahwa tak mungkin pemuda itu melarikan diri dari mana saja, tak ada mobil polisi malam itu, tangan dan kaki pemuda itu diborgol ... Entah apa kemudian terjadi pada pemudi 18 tahun yang menulis surat kesaksiannya bagi NAACP. Tak ada catatan historis tentangnya.
Namun surat itu bersaksi baginya, bahwa keberanian untuk mengungkap kebenaran, untuk tidak berpura tak tahu, untuk tak 'kembali tidur' pernah -dan semoga masih- hidup di muka bumi ini. Keberanian yang tak disemarakkan oleh bintang jasa dan seremoni, keberanian yang berhias keikhlasan untuk pergi ke rumah sang janda, menawarkan penghiburan. Keberanian yang rendah hati. Keberanian dari seorang biasa, seperti saya dan anda. Keberanian yang ditantang dari kita semua, untuk tidak tinggal diam di hadapan ketidakadilan.

Nukilan dari "Black Workers Remember" oleh Michael Keith Honey. Penerbit University of California Press, 1999.

Killing Time - Berani Bertanya


'Temanku Joan McKenna, ..., setelah diperkenalkan sebagai profesor tamu ia langsung memberi kuliah filsafat pertamanya di kelasku di Berkeley, 20 menit berlalu sebelum ia kemudian memberi kesempatan untuk bertanya. Beberapa mahasiswa memberanikan diri untuk mengajukan pertanyaan. Jawaban-jawaban McKenna terkesan seadanya, tidak tepat sasaran, terkadang bahkan sarkastik dan otoriter, mentertawakan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tanpa benar-benar menjawabnya. Namun tidak seorangpun berani menyela, tak seorangpun menyanggah. Sebaliknya, beberapa orang menggeser posisi duduknya, sedikit menjauh dari mereka yang berani-beraninya bertanya. 'Well, kami nggak kepengin terlihat serupa dengan orang-orang bodoh macam kamu.', begitu seolah terisyaratkan oleh bahasa tubuh mereka yang menggeser tempat duduknya.Ketika McKenna melanjutkan, "Lihat apa yang kalian lakukan!", ujarnya pada seluruh kelas. "Aku tidak menjawab pertanyaan kalian, malah melecehkan mereka yang bertanya. Dan kalian menerima perlakuanku ini begitu saja, bukan hanya itu, kalian malah ikut melecehkan mereka yang bertanya. Pantas saja para profesor di sini bisa bicara apapun yang mereka sukai !" Setelah itu, kami berdiskusi tentang masalah ini.Bayangkan seseorang dengan otoritas di suatu bidang ilmu mengungkapkan sesuatu yang bagimu terdengar aneh, atau sekedar sukar dimengerti. Apa yang akan kau lakukan? Bangun dari kursimu, bertanyalah, minta penjelasan! Bayangkan si pemegang otoritas ini menjawabmu ala kadarnya, seolah tak sabar akan kebodohanmu, bayangkan kau tergugu di tengah kelas bertanya pada dirimu sendiri 'Akukah yang memang susah mengerti?' ... Well, seseorang lain mesti berdiri dan mengulang pertanyaan temannya "Aku juga kurang mengerti!" Jika si profesor tetap menjawab dengan otoriter dan sarkasme, orang ketiga mesti berdiri "Anda di sini untuk mengajar, bukannya mentertawakan kami; jadi dengan seluruh kerendahan hati, tolong jelaskan sekali lagi.""Jangan membangkang!", yang empunya otoritas mulai kelihatan kesal"Ia tidak sedang membangkang," siswa keempat berdiri. "Ia hanya bertanya, dan Anda belum menjawabnya." - dan seterusnya...."Well, mahasiswa tidak bisa benar-benar melakukan hal seperti itu." Salah seorang siswaku mengajukan pendapatnya, "Ia akan memberi kami nilai jelek".

--Terjemahan bebas dari satu pasase dalam 'Killing Time, The autobiography of Paul Feyerabend'.

Paul Feyerabend, dihitung dunia sebagai salah satu filsuf metodologi sains terdepan, ia mengajar di Uni California Berkeley dari 1960an.
Berbeda dengan aliran mainstream yang mencoba 'merapikan' metode ilmiah, Feyerabend (nama keluarga yang sebenarnya adalah permainan kata dari Feierabend, istilah Jerman untuk 'free time') lebih menitikberatkan metodologi ilmiahnya pada impulse untuk bertanya, kejujuran, dan hasrat untuk menemukan kebenaran.
'Berani bertanya', mungkin memang merupakan permulaan dari pemahaman.

Tuesday, August 24, 2004

Buena Vista Social Club

Buena Vista Social Club?
Suatu kali dalam perjalanan kembali dari Strassbourg, dalam kereta api yang membawa kami kembali ke kota kecil Neustadt/Weinstrasse tempat kami melewatkan praktikum, seorang teman meminjam koleksi CD ku yang memang selalu kubawa saat perjalanan jarak jauh seperti saat itu. Beberapa saat kemudian, kutemukan dia sedang asyik mengangguk-angguk + bergoyang pundak dengan earphone di telinga. Tersenyum ia sambil berkomentar 'You have a very nice salsa music here ...'
SALSA? Perasaan tak pernah aku punya satu pun CD salsa ...
Penasaran, kuambil salah satu earphone dari telinganya, setelah nguping sekejap segera aku tahu Cd mana yang sedang didengarkannya: Buena Vista Social Club (BSVC).

Salsa? atau ... Cuban jazz?

Yang pertama adalah kesan temanku, yang kedua adalah kesanku. Mungkin tak seorang dari kami mendeskripsikan BVSC dengan tepat. Pertama kali dengar, kukira ini satu grup musik. Tertarik juga karena terasa eksotik : cuban music? Seperti apa pula itu?
Begitu dengar musik-musik mereka, piece by piece, tak ayal aku terpesona. Improvisasinya a la jazz, namun kental dengan feeling Spanish Caribean. Sengatan panas Havana yang tervisualisasi lewat cover album ini segera membayang di tengah kocokan gitar yang begitu sering mendominasi lagu-lagu di album ini.
Buena Vista Social Club bukanlah satu nama grup musik. Meski setelah album ini melonjak pamornya karena Grammy Award yang diraihnya tahun 1996, pemusik-pemusik yang berkolaborasi di sini jadi seperti satu grup musik saja layaknya. Ketika Ry Cooder -produser- beride untuk memproduksi album ini, yang ada dalam benaknya adalah mempresentasikan Cuba bagi dunia. Mereka yang bermain dalam album ini adalah bintang-bintang panggung tahun 50'an di Cuba. Para veteran. Para maestro.

"The players and singers of the 'son de Cuba' have nurtured this very refined and deeply funky music in an atmosphere sealed off from the fall out of a hyper-organised and noisy world. In the time of about a hundred and fifty years, they have developed a beautiful ensemble concept that works like greased lightning. This album is blessed with some of the finest musicians in Cuba today - their dedication to the music and rapport with each other is unique in my experience. Working on this project was a joy and a great privilege. This music is alive in Cuba, not some remnant in a museum that we stumbled into. I felt that I had trained all my life for this and yet making this record was not what I expected in the 1990s. Music is a treasure hunt. You dig and dig and sometimes you find something. "
Ry Cooder

Bagiku yang memang sebatas penikmat, dan tak pernah bisa memainkan satu alat musik, album ini seolah hadir sebagaimana para pemainnya hadir. Kebanyakan pemusik di album ini sudah lewat masa emasnya, usia 60-70 an .... namun bukannya menurun dalam kreasi, talenta mereka seolah bereaksi bak anggur yang makin lama makin sedap. Sedap dan anggun.
Begitulah kiranya aku boleh mendeskripsikan album ini: sedap karena aransemennya yang apik, improvisasinya yang terasa seolah menari di sekujur CD, dan anggun karena kemantapan para pemusiknya bermain. Sayang tak banyak yang aku bisa nikmati dari liriknya : Spanyol ...
Namun bagaimanapun juga, aku jatuh cinta.
Dan aku nggak sendiri, Buena Vista Social Club meraih Grammy International Best Album tahun 1996. Dan nggak kurang dari sutradara sekelas Wim Wenders (sutradara kawakan Jerman, yang filmnya The Wings of Desire jadi inspirator City of Angelsnya Nicolas Cage & Meg Ryan) meracik film dokumenter tentang kehidupan para maestro Cuba ini.
Cuba, oh .. Cuba ... . Sempat terbaca olehku di salah satu eksemplar lawas National Geographic tentang Cuba. Dan yang terbayang adalah eksperimen sosialisme, kejayaan yang memudar, jam-jam yang murung. Tak lagi, setelah aku disapa Buena Vista Social Club.
Bagiku, Cuba kini tetaplah satu tempat jauh yang tak pernah kukunjungi (dan entah akankah pernah). Namun kapanpun aku bersua dengan Cuba dalam hidup sehari-hari, yang terbayang adalah hidup yang musikal karena toh seperti kata Ry Cooder 'In Cuba the music flows like a river. It takes care of you and rebuilds you from the inside out'.