Friday, July 15, 2005

Hush ...

Image hosted by Photobucket.com Di salah satu album Ella Fritzgerald, seorang pengiringnya sempat memuji ikon vokal Jazz ini sebagai 'first and foremost jazz musician' karena cerdas dan tanggapnya sang vokalis beradu improvisasi versus alat musik yang tengah mengiringinya. Vokalisasi yang lebur jadi bagian dari keseluruhan musik. Bukan sebagai highlight yang mesti dilayani, bukan pula sebagai pulasan latar belakang.
Vokalis semacam yang paling saya suka adalah Boby McFerrin. Musik McFerrin biasa berisi gumam tanpa kata yang disenandungkan bersama alat-alat musik lain. Vokalnya menjelma jadi instrumen tersendiri yang memberi warna tak tergantikan dari keseluruhan musik. Terlahir dari pasangan orang tua yang sama-sama musisi klasik, McFerrin berangkat dari jazz, dilabeli stimmwunder (the magic voice) oleh kritikus musik Jerman yang dikenal nyinyir, untuk kemudian juga meruak merambah dunia musik kamar dan simfoni.
Ada beberapa album McFerrin yang jadi repertoir favorit saya, kerja barengnya dengan The Yellow Jackets dan Chic Corea adalah dua contoh. Namun satu yang paling ‚ringan’ sekaligus ‚cemerlang’ adalah 'Hush' hasil kolaborasinya dengan Yo-Yo Ma. Berisi 13 nomor, di mana vokal McFerrin bersahutan dengan gesekan cello Ma. Album ini benar-benar terasa sebagai hasil kerja yang serius dalam bermain-main. Karena latar belakang klasik kedua pemusiknya, tak mengejutkan bila album ini kemudian banyak diberkati oleh nomor2 besutan Bach dan Vivaldi. Salah satunya adalah Andante from Concerto in D minor nya Vivaldi, piece ini sebenarnya ditujukan buat dua mandolin untuk saling bersahutan. Well, di sini mandolin pertama diambil alih oleh Ma, sementara mandolin kedua ... diisi oleh vokalisasi McFerrin. Hasilnya? Unik!
Suka "The Flight of Bumble bee" nya Rimsky-Korsakov? Mesti coba dengar interpretasi kedua pemusik ini!! Selihai-lihainya alat musik dipetik atau digesek untuk menghasilkan efek buzzing dari lebah madu, tetap saja kalah gereget dibanding liukan vokal seorang McFerrin. Di nomor ini cello Ma bernyanyi solid sementara vokal McFerrin menyenggak di sana-sini menciptakan efek hidup yang susah dicari padanannya. Lain ceritanya dengan Ave Maria nya Bach, di mana senandung a la chanting McFerrin bertindak sebagai penjaga ritme di latar belakang sementara cello Ma berkisah kalem perihal devosi melodius buat bunda Yesus.
Buat saya, nomor paling sedap dari album yang -konon kabarnya- dimaksudkan untuk 'membangunkan anak-anak dalam diri setiap orang dewasa' (demikian McFerrin-Ma dalam introduksi mereka) adalah 'Hush Little Baby'. Nomor tradisional yang dibawakan begitu melebar, playful, carefree. Cello Ma dipetik, digesek, kedengaran juga tepukan, berbagai variasi vokal, suara ketawa ... cuma di lagu ini pula bisa dinikmati McFerrin menyanyi.
Keberanian keduanya untuk bermain-main, untuk dengan serius mencoba jadi nggak serius, punya efek sugestif tersendiri. Memulai pagi dengan kopi fresh roast berteman musik satu ini seolah ada keyakinan sederhana yang lahir dari ketiadaan, mengumpul di tengah diri bak embun di lekuk daun. Sebuah iman bahwa meski setumpuk target dan kewajiban menumpuk sesak di tiap tikungan jam dan menit, semua bakal baik-baik saja hari ini ...

Friday, June 17, 2005

Campur sari interpretasi

Salah satu jenis kerja musik yang saya paling doyan jelajahi adalah reinterpretasi satu sekolah musik oleh seseorang dari luar aliran bersangkutan.
Hasilnya seringkali adalah karya yang ajaib dan segar betul.
Image hosted by Photobucket.comSalah satunya, adalah ketika Chick Corea, die wunderkind, mantan pianis Lionel Hampton yang ramuan tuts keyboard nya ranging dari imajinatif sampai bikin pusing kepala itu (iya lho ... baru setelah denger beberapa album 'eksperimental'nya saya ngaku kalo keyboard ternyata sangat bisa dibikin jadi semembingungkan instrumen tiup di bibir Coltrane) main bareng Friedrich Gulda dan Harnoncourt. Dua pianis yang disebut belakangan itu namanya sering terdengar di belantika musik klasik. Gulda sering tersua kalo lagi nyari CD nya Beethoven, sementara Harnoncourt lebih sering main musik dari jaman baroque. Itu juga kalau nggak salah. Abis gimana, saya kan sebenernya buta musik, cuma ngerti dengerin dan bilang sreg atau nggak ...
Biar begitu, ketika denger trio Corea, Gulda dan Harnoncourt main concerto piano no. 23 dan 26 nya Beethoven dengan dikawal Royal concertgebouw (konon orkestra nomor satunya Belanda) ... ada sesuatu yang menyeruak naik. Kegairahan yang berbeda dari interpretasi-interpretasi Bethoven lain yang pernah saya dengar. Tempo yang longgar, dan begitu cerdas dimain-mainkan. Dan ah .. ah .. di interpretasi Bethoven mana lagi bisa didengar salah satu pianis tiba-tiba berhenti main dan sekedar mengikuti lajunya beat dengan tepukan tangan ritmis satu dua satu dua ?
Image hosted by Photobucket.comKarya lain yang saya suka, adalah Yo Yo Ma playing the music of Astor Piazzola. Menurut sahibul cerita, Astor Piazzolla adalah pendekar bandoneon yang merevitalisasi tango di jagad musik Argentina. Sementara Yo Yo Ma? yang saya tahu sih, cellist kelahiran Paris ini lebih sering saya lihat di cover CD yang mengusung Brahms, Schumann atau Mozart. Tapi pas si bapak berkacamata ini menggesek cellonya demi nama Astor Piazzolla ... wah ... saya seperti diterbangkan begitu saja ke ranah latin dimana gairah bertebaran di udara seperti serbuk bunga.
Album Ma bertahun 1997 ini dibuka oleh 'libertango', yang tempo monoton menghentaknya menjelma jadi ajakan untuk tak kepalang tanggung melebur dalam passion dan gelegak. Dan sepanjang Cd ... duh, itu cello bisa-bisanya seolah berubah-ubah bunyi. Terkadang miris terkadang galak, nggak kalah tangguh dari bandoneon yang -sebelum dengerin CD ini- terkesan paling pas menceritakan Tango.
Ya, dua album di atas itu lah yang bikin saya nggak lelah berburu campur sari interpretasi lain. Kerja dari manusia-manusia yang tak betah untuk dibatasi oleh pagar-pagar maya yang membelenggu begitu banyak kolega mereka. Mendengar dan menikmati mereka bermain-main di luar zona nyaman masing-masing seolah menginspirasi diri untuk selalu berbuat serupa ...

Tuesday, May 03, 2005

Merayakan Kemanusiaan Yang Tak Sempurna

Kazuo Ishiguro: “The Artist of The Floating World” dan “The Remains of The Day”

Image hosted by Photobucket.comMenikmati buku-buku Ishiguro bisalah dibayangkan bak berjalan-jalan menikmati taman jalan bercecabang a la Luis Borges. Meski baru dua buku Ishiguro yang sempat mampir di tangan, keduanya bicara dengan langgam yang mirip. Bicara sebagai orang pertama yang menjalani hari-hari musim gugur kehidupan, tokoh-tokoh Ishiguro menemukan diri mereka reminiscing, mengingat berbagai hal yang lewat sudah. Dan dengan memanggil kembali percakapan-percakapan lama, kenangan dan kesan lalu, mereka mendefinisikan harapan-harapan, menemukan keinsyafan-keinsyafan baru.
Mengapa jalan bercecabang?
Dalam bukunya ‘The Artist of the Floating World’ maupun ‘The Remains of The Day’, tak ada plot serba tahu serba linier yang membuka mengembang di hadapan pembaca. Sebaliknya, digresi, lamunan, loncatan-loncatan cerita berbelak-belok dengan luwesnya di sepanjang teks. Pembaca seolah diajak untuk berjalan-jalan di labirin taman benak tokoh-tokohnya.
Dalam The Artist of The Floating World, adalah Matsuji Ono yang membawa kita melihat derap perubahan di Jepang masa setelah Perang Dunia. Bukan hanya mencicipi arus perubahan di permukaan kulit, namun juga menyelam ke masa lalu Ono di era militerisme Nipon. Dan dalam drama yang nyaris tanpa gelegak eksplisit, pembaca di bawa melihat perubahan dan ketaksempurnaan hidup seorang manusia, melalui deskripsi olah emosi dan pergeseran cara pandang yang subtil.
Setting berbeda tersaji dalam The Remains of The Day, di mana narasi tersampaikan melalui seorang butler Inggris. Setting waktu masa krisis Terusan Suez berdiri bisu di belakang, sementara sudut pandang seorang butler (yang terasa benar serupa mitos di sini) akan gilang gemilang karir diplomasi tuannya jadi bahan pemikiran yang asyik sungguh. Juga di buku ini, kita dibawa bermain dalam masa lalu sang protagonis. Masa lalu yang tak obyektif. Masa lalu sebagaimana sang tokoh melihat, mengalami dan memaknainya. Masa lalu yang terkadang tersua sebagai sesuatu yang sama sekali berbeda ketika dialog bersambung dengan tokoh lainnya.
Maka tak pelak lagi, simpati pun mengalir buat tokoh-tokoh Ishiguro. Yang sama-sama tak sempurna. Tak sempurna dalam sempitnya cara pandang. Tak sempurna dalam bertutur, bertindak dan berpikir. Di pihak lain, cara cerita retrospektif a la Ishiguro juga tak menawarkan keinsyafan yang khas cerita agama. Alih-alih, ia menawarkan solusi alternatif tentang ketaksempurnaan: untuk jadi puas akan apa yang telah terjadi, tntuk merayakan kemanusiaan yang memang takdirnya untuk jadi tak sempurna.
Menarik juga untuk memperhatikan mulusnya tokoh-tokoh Ishiguro bertutur, santun dan serba terukur. Jadi lebih menarik lagi jika disadari bahwa keduanya berlatar berbeda, yang seorang seniman Jepang sedang yang lain butler Inggris: betapa mirip laras bahasa dan cara merasa keduanya. Meski demikian, kemiripan tadi tak terasa dipaksakan. Sebaliknya, justru terasa sungguh natural. Tak ayal, mata kita mesti tertumbuk pada sang pengarang, si pemintal benang cerita. Kazuo Ishiguro, lahir di Nagasaki beberapa tahun setelah usainya perang dunia kedua. Di usia sembilan tahun, orang tua Ishiguro hijrah ke Inggris. Karena berencana untuk kembali ke Jepang dalam waktu dekat, Ishiguro kecil dididik dalam tradisi Jepang yang kental. Sang kala bicara lain, keluarga Ishiguro menetap di Inggris dan mengenyam pendidikan tinggi di universitas negerinya Shakespeare itu. Dengan modal pemahaman akan dua budaya berbeda inilah tokoh-tokoh Ishiguro jadi tergambarkan hidup dan dinamis, meski tetap berbagi ketaksempurnaan yang sama. Sebagaimana semua kita.

Thursday, March 17, 2005

Magi Improvisasi

Image hosted by Photobucket.comKeith Jarrett, terlahir di Amerika dari keluarga berakar kuat di Eropa, adalah salah satu pianis yang merambah begitu banyak medan musik. Dibesarkan dalam tradisi piano klasik, Jarrett menulis dan menerbitkan beberapa album solo klasik. Namun namanya -kalau nggak salah- sempat terbawa juga bersama charles Lloyd Quartet, dan setelahnya bersama band nya Miles Davis, sebagai pianis kedua, siapa pianis pertamanya? Yup, the great Chick Corea.
Namun dari deretan albumnya (yang buanyak nya minta ampun, dan baru sepersepuluhnya sempat mampir di telinga yang sangat tergantung pada kelengkapan perpustakaan musik Hannover ini ...), ada serentet komposisi unik: improvisasi solo. Improvisasi yang beneran improvisasi, berasal dari ketiadaan. Bukannya improvisasi dalam definisi jazz tradisional yang memain-mainkan 'tune' dari komposisi yang sudah ada lebih dulu. Improvisasi solo nya Jarrett (setidaknya demikian pengakuannya) adalah ledakan inspirasi yang tak terencana hingga saat ia duduk di depan piano dan audiens.
Gila? Mungkin sedikit ...
Tapi kalau anda sempat dan (kira-kira) suka (ama yang gila-gila), silakan coba dengarkan salah satu album improvisasi Jarrett, dan kalau saya boleh beri saran, coba yang satu ini: The Köln concert.
Direkam tahun 1975 live di Köln. Kota tempat gereja dengan menara tertinggi di dunia berada, di lembah sungai Rühr kalau nggak salah ingat.
Dalam album itu, gelegak nada mengalir ritmis dari jemari Jarrett. Pulasan vokalisasi sang pianis menyedak di sini sana, seolah ektasi datang tersua. Keseluruhan komposisi piano yang digelar di sana, tak salah lagi, adalah magi. Liris, sekali-kali emosional, sekali-kali malas, lalu menghentak, berhenti nakal, berpura-pura, melena. Meledak.
Track IIA dan IIB yang panjangnya hampir 40 menit itu sudah jadi favorit saya tiap kali benak ini butuh inspirasi. Begitu kaya piano Jarrett bicara, hingga tiap kali musiknya dimainkan, tiap kali pula detil kecil baru tertangkap ...
Siapa bilang sihir tak hadir di dunia mutakhir?