Kazuo Ishiguro: “The Artist of The Floating World” dan “The Remains of The Day”
Menikmati buku-buku Ishiguro bisalah dibayangkan bak berjalan-jalan menikmati taman jalan bercecabang a la Luis Borges. Meski baru dua buku Ishiguro yang sempat mampir di tangan, keduanya bicara dengan langgam yang mirip. Bicara sebagai orang pertama yang menjalani hari-hari musim gugur kehidupan, tokoh-tokoh Ishiguro menemukan diri mereka reminiscing, mengingat berbagai hal yang lewat sudah. Dan dengan memanggil kembali percakapan-percakapan lama, kenangan dan kesan lalu, mereka mendefinisikan harapan-harapan, menemukan keinsyafan-keinsyafan baru.
Mengapa jalan bercecabang?
Dalam bukunya ‘The Artist of the Floating World’ maupun ‘The Remains of The Day’, tak ada plot serba tahu serba linier yang membuka mengembang di hadapan pembaca. Sebaliknya, digresi, lamunan, loncatan-loncatan cerita berbelak-belok dengan luwesnya di sepanjang teks. Pembaca seolah diajak untuk berjalan-jalan di labirin taman benak tokoh-tokohnya.
Dalam The Artist of The Floating World, adalah Matsuji Ono yang membawa kita melihat derap perubahan di Jepang masa setelah Perang Dunia. Bukan hanya mencicipi arus perubahan di permukaan kulit, namun juga menyelam ke masa lalu Ono di era militerisme Nipon. Dan dalam drama yang nyaris tanpa gelegak eksplisit, pembaca di bawa melihat perubahan dan ketaksempurnaan hidup seorang manusia, melalui deskripsi olah emosi dan pergeseran cara pandang yang subtil.
Setting berbeda tersaji dalam The Remains of The Day, di mana narasi tersampaikan melalui seorang butler Inggris. Setting waktu masa krisis Terusan Suez berdiri bisu di belakang, sementara sudut pandang seorang butler (yang terasa benar serupa mitos di sini) akan gilang gemilang karir diplomasi tuannya jadi bahan pemikiran yang asyik sungguh. Juga di buku ini, kita dibawa bermain dalam masa lalu sang protagonis. Masa lalu yang tak obyektif. Masa lalu sebagaimana sang tokoh melihat, mengalami dan memaknainya. Masa lalu yang terkadang tersua sebagai sesuatu yang sama sekali berbeda ketika dialog bersambung dengan tokoh lainnya.
Maka tak pelak lagi, simpati pun mengalir buat tokoh-tokoh Ishiguro. Yang sama-sama tak sempurna. Tak sempurna dalam sempitnya cara pandang. Tak sempurna dalam bertutur, bertindak dan berpikir. Di pihak lain, cara cerita retrospektif a la Ishiguro juga tak menawarkan keinsyafan yang khas cerita agama. Alih-alih, ia menawarkan solusi alternatif tentang ketaksempurnaan: untuk jadi puas akan apa yang telah terjadi, tntuk merayakan kemanusiaan yang memang takdirnya untuk jadi tak sempurna.
Menarik juga untuk memperhatikan mulusnya tokoh-tokoh Ishiguro bertutur, santun dan serba terukur. Jadi lebih menarik lagi jika disadari bahwa keduanya berlatar berbeda, yang seorang seniman Jepang sedang yang lain butler Inggris: betapa mirip laras bahasa dan cara merasa keduanya. Meski demikian, kemiripan tadi tak terasa dipaksakan. Sebaliknya, justru terasa sungguh natural. Tak ayal, mata kita mesti tertumbuk pada sang pengarang, si pemintal benang cerita. Kazuo Ishiguro, lahir di Nagasaki beberapa tahun setelah usainya perang dunia kedua. Di usia sembilan tahun, orang tua Ishiguro hijrah ke Inggris. Karena berencana untuk kembali ke Jepang dalam waktu dekat, Ishiguro kecil dididik dalam tradisi Jepang yang kental. Sang kala bicara lain, keluarga Ishiguro menetap di Inggris dan mengenyam pendidikan tinggi di universitas negerinya Shakespeare itu. Dengan modal pemahaman akan dua budaya berbeda inilah tokoh-tokoh Ishiguro jadi tergambarkan hidup dan dinamis, meski tetap berbagi ketaksempurnaan yang sama. Sebagaimana semua kita.
Tuesday, May 03, 2005
Subscribe to:
Posts (Atom)