Sunday, May 07, 2006

Lagi: Membaca Ishiguro

Photobucket - Video and Image HostingMembaca Ishiguro memang bisa jadi melelahkan. Caranya bercerita yang senantiasa berupa reminiscence tak beraturan dari satu atau dua tokoh utamanya tak pernah memang tak pernah gagal memancing rasa ingin tahu. Tapi setelah sekian ratus halaman membaca loncatan-loncatan memori yang seringkali nggak urut, saya tidak bisa tidak merasa sedang digoda habis-habisan oleh penulis kelahiran Jepang yang besar di Inggris ini. Cara bercerita Ishiguro memang tidak berubah. Trik yang sama diulang-ulangnya dari buku pertama hingga bukunya yang terbaru, terbit tahun lalu.

Buku-bukunya yang pertama, A Pale View of Hills (1982), Artist of the Floating World (1986) dan The Remains of the Day (1989) masih mengambil setting di ‘hari ini’ di ‘dunia yang kita akrabi’, di mana waktu berjalan linear meski ingatan manusia mungkin memang bisa (dan biasa) mbulet tak berujung tak berpangkal. Melalui buku-bukunya, Ishiguro menunjukkan kepiawaian dalam memahami labirin pemikiran manusia. Betapa cara seseorang bercerita tentang sesuatu yang terjadi lama lalu, caranya memerikan sifat, perilaku, tindak tanduk seseorang lain justru jadi jendela lewat mana kita melihat sifat dan perilaku si pencerita. Ishiguro tidak mendeskripsikan karakter tokoh-tokohnya, ia menggambarkan, ‘menyarankan’, karakter-karakter tersebut. Kita diajak untuk merasakan, menimbang dan memutuskan karakter masing-masing melalui cara para tokoh merekam dan menceritakan masa lalu mereka, apa yang mereka ingat dan apa yang mereka lupakan. Subtilitas ‘penggambaran’ karakter utama Ishigurolah yang mungkin merupakan salah satu alasan utama kenapa saya ‘ketagihan’ membaca novel sarjana seni Universitas Kent, Inggris ini.

Sedangkan dalam beberapa bukunya yang terakhir (saya harus mengaku baru baca The Unconsoled bertahun 1995 dan baru selesai menikmati bukunya yang terbaru: Never Let Me Go terbit tahun lalu di awal tahun, ada satu bukunya yang belum terbaca When We were Orphans dari tahun 2000) Ishiguro mulai bertualang ke dunia yang berbeda. Caranya bercerita belum berubah. Dus, pembacanya masih tetap diajak untuk mengupas karakter tokoh-tokohnya selapis demi selapis, secerita demi secerita. Yang secara kontras membedakan The Unconsoled dan When We were Orphans dari tiga buku pertama Ishiguro adalah latar dunia di mana narasi mengambil tempat. Dalam The Unconsoled, seorang pianis dibawa terlempar ke satu kota di antah berantah Eropa di mana waktu, ruang, realitas, mimpi, dan ingatan seolah teraduk jadi satu tanpa pembatas yang jelas. Ketika satu pintu dibuka, setting siang di ruang yang baru ditinggalkan tiba-tiba beranjak jadi malam di ruang yang baru dimasuki. Menantang memang, kita seolah dilemparkan ke satu setting di mana segala yang kita mengerti sebagai realitas dan prediktabilitas diputar bolak-balik. Meski inovatif, saya mesti mengaku kalau dunia baru ini kelamaan jadi membosankan, justru karena absennya ‘hukum-hukum’ sederhana yang menata keseluruhan 'realitas' dalam buku tersebut. Absennya sistem. A complete chaos ternyata membosankan.

Sementara di bukunya yang terakhir, Ishiguro dengan berani mengolah satu issue relatif baru yang diperkenalkan oleh sains belakangan ini: dunia yang mengenal teknologi kloning. Dengan fantasi yang menarik, elaborate namun masih bisa diterima logika, Ishiguro mencoba menceritakan pada kita tragedi kemanusiaan yang mungkin terjadi di dunia di mana manusia dapat ditumbuhkan dari satu sel primula manusia lain. Yang sungguh saya suka dari novel terakhir ini, adalah ia tidak ‘jatuh’ ke klise novel fantasi. Ia tidak mengebom kita dengan detil-detil futuristis. Sebaliknya, Ishiguro meletakkan ceritanya di Inggris, dengan detil geografik yang masih bisa kita akrabi. Ia berhasil menarasikan satu kemungkinan tragedi di masa datang tanpa terjebak di masa yang belum datang itu. Meski begitu, sebagaimana paragraf pembuka saya di depan. Plot Ishiguro berjalan sungguh pelan, dengan revelasi yang sporadis tentang kepingan-kepingan penting dari keseluruhan cerita. Karena pelannya plot, seringkali revelasi serupa jadi sudah terbaca sebelum ia mengada. Alih-alih menjadi penggugah untuk membaca lebih jauh, ia malah terasa sebagai anti klimaks yang datang berulang-ulang. Jika dalam The Unconsoled Ishiguro sukses membingungkan saya dengan keliaran plot, maka Never Let Me Go sukses membuat saya bosan di tengah jalan.

Meski demikian, keunikan dan kelihaiannya mengolah tema masih tetap jadi gimmick tersendiri untuk membaca buku ini hingga tuntas. Dan sebagaimana yang mungkin dimaksudkan oleh Ishiguro ketika menulis buku ini, saya kira buku ini punya cukup kekuatan untuk mengundang kita kembali mempertimbangkan betapa pilihan-pilihan kita sebagai ras hari ini akan memiliki konsekuensi yang tak terpikirkan di masa mendatang.

Saturday, May 06, 2006

Persepolis

Photobucket - Video and Image HostingApa yang sebenarnya ditawarkan oleh sebuah grafik dari sebuah ‘novel grafik’? Apa yang membedakannya dari novel, tanpa grafik?

Ilustrasi yang menghiasi, dan jadi bagian dari narasi adalah seni tersendiri. Ia memperkaya, membantu menciptakan atmosfer, merangsang ujung-ujung saraf yang berbeda dari yang diarah oleh narasi. Ilustrasi akan senantiasa mengisyaratkan tafsir. Namun saya kira ilustrasi yang baik bukanlah tafsir yang membatasi, ia lebih seperti semacam ujaran, saran. Mungkin karena itu, ilustrasi selalu bisa dipisahkan dari narasi dari mana ia berasal. Sonder ilustrasi, narasi akan tetap bercerita bagi pembacanya.

Di lain pihak, novel grafik memakai grafik sebagai mediumnya bercerita. Narasi ada pada grafik itu sendiri. Bukan cuma pada huruf-huruf yang mengemukakan dialog, ia ada pada goresan pena, warna, mood dari masing-masing panel. Dan seperti halnya tiap penulis novel tanpa grafik punya kekhasannya sendiri dalam memilih diksi, cara bercerita dan sudut pandang, tiap kreator novel grafik punya kemerdekaannya dalam menentukan isi tiap-tiap panelnya. Warna, detil, sudut pandang. Pun ekonomi dialog. Charles Schulz, penulis Snoopy pernah tertangkap tangan berkata “Bagian tersulit dari melukis Snoopy adalah menentukan apa yang akan dikatakan, atau tidak katakan, oleh masing-masing figur.” Well, batasan ruang dari Snoopy sebagai komik selarik memang membuat ekonomi dialog jadi penting. Tapi saya kira, menulis terlalu banyak kata dalam satu novel grafik terasa sebagai pengkhianatan atas identitas grafik novel itu sendiri. Mungkin itu sebabnya, meski masih tetap menikmati karya2 nya Art Spiegelman, saya lebih suka membaca Persepolis nya Marjane Satrapi. Buat selera saya, beberapa novel Spiegelman terkadang mengambil terlalu banyak tempat untuk teks.

Photobucket - Video and Image HostingMarijane Satrapi terlahir di Rahst, Iran tahun 1969. Terlahir di keluarga progresif yang kemudian menetap di Tehran, Satrapi bertumbuh bersama gelombang naik turun politik Iran. Novel grafik Satrapi, Persepolis I, adalah autobiografi yang menarik dari seorang saksi mata penggulingan Shah Iran oleh Ayatollah Khomeini dan perang Iran-Irak yang menyusul sesudahnya. Lebih menarik lagi, sang saksi mata adalah seorang anak yang tengah beranjak dewasa. Saya kira pilihan untuk menulis autobiografi ini sebagai novel grafik adalah strategi yang cerdas. Disuguhkan dalam komposisi hitam putih, dengan garis-garis tegas dan sederhana, panel-panel Persepolis terasa inosen, jujur dan apa adanya. Jadi inosen, atau jujur atau apa adanya, sesungguhnya adalah pilihan yang sungguh berani jika diambil secara sadar. Seringkali semua karakter tadi terbaca sebagai bodoh, naif, dan tidak realistis di dunia di mana relativitas bersimaharaja. Relativitas, berubah cepatnya nilai-nilai di sekeliling, revelasi akan kapasitas manusia untuk jadi brutal (kontras dengan imaji, atau mimpi, tiap orang bahwa manusia terlahir baik) adalah latar belakang Persepolis I. Disandingkan dengan cerdas, inosensi yang lahir dari kesederhanaan grafik dan kekalutan yang tengah digambarkan oleh keseluruhan novel ini jadi materi baca yang menantang.

Persepolis I sebagaimana diterbitkan di Amerika sesungguhnya adalah Persepolis 1 dan 2 (sebagaimana mula-mula diterbitkan) yang digabung bersama. Sementara Persepolis II di Amerika adalah Persepolis 3 dan 4 yang diterbitkan jadi satu. Keseluruhan ‘seri’ bercerita dengan luwes, menyentuh tanpa banyak gaduh, tentang perjalanan hidup dan pemikiran seorang wanita Iran yang tidak bersetujuan dengan ‘filosofi nasional’ negaranya sendiri sebagaimana yang dirumuskan oleh mayoritas pemimpin bangsanya. Cerita seorang eksil, saya temukan selalu menarik. Tapi cerita seorang eksil yang dikemas dalam bentuk novel grafik? Sungguh sedap betul!

Thursday, March 16, 2006

Nick Hornby: wittiness is not dead, yet!

Ok .. OK .. I know it's just a rerun from my other blog .. but hey, I thought it should go better here than there!

Really, I'm not always up to books with cheeky conversations and witty comments. But you know some of the books of that kind weave magic!! You can actually feel the wide grin of the writers in front of their on-going work, imagining their readers' respond. I got that kind of sensation when I read Oscar Wilde, or Irish Murdoch. The serious jokers. The chronic cynics. The life-mockers who love life all the same. The ones that will knock you off your feet with dazzling one-liners out of the blue. Offhand comments on such 'important' matters, like life, or God, or love, or sex fly right through their pages. I do relish on such books, I really do. But then, it's not easy to find such composition without it being too cheesy, too anxious of being funny, so lacking of self-confidence. You can browse through English book section in a German bookshop (well, rest assured they are not many but still...) and find none of those works to be nearly as witty as they should be.
Image hosted by Photobucket.comSome of the contemporary writers do reach the level of mastery, though. Jonathan Safran Foer certainly did. Everything is Illuminated is as funny as fun can be. A tour de force of self-worship, done with a detachment close to a scientific observation, it is a masterpiece of the 28 years old Jewish writer. Another contemporary wit that has successfully reached such level is Nick Hornby.
You might have watched ‘High Fidelity’ (Stephen Frears) or ‘About a Boy’(Weitz brothers). What do you think about those movies? Well, if you don't like them, try the books. Goodness gracious, these books are made of laughter, light spirited jolts and a good amount of bollocks (as Horby’s protagonists will surely put it). Not mere bad cheap slapstick jokes, but slapstick jokes manoeuvred with amazing wittiness. He brought them out at perfectly correct moods, and with a good dose of insensitivity. He laughed about all, about death, relationship, hard stuff. But he also joked at man and manliness; you know ... the unimportant things. Gosh, I had good time at trams and trains reading Hornby's works. Take ‘High Fidelity’ for example, it narrates in a clever guise of humour, the contradictory feeling, the guilt and paradox of being a man. Incapable of retaining any straight logic, yet boasting itself as the more logically advanced sex (oh yes, men don't readily produce reason, they produce lists ... name your five top blonde you want to be with...). Being all-emotional yet persistently murmuring its curse as the more emotionally-challenged being (so 'you got on well with your new partner, eh?' means 'did you sleep with him yet?').
Image hosted by Photobucket.comWell, okay, you might find the book funny in a bit-too-vulgar sense. Unlike Wilde or Murdoch, you might even add. But then again, don't you think that the vulgar is not a static area? Do its boundaries not a dynamically moving shade limiting the land of clear conscience? Meaning, whatever vulgar by the time of Wilde and Murdoch might not worth a tickle in the conscience of nowadays defender of ethical values? And what we have in Hornby's now is something that is unthinkable to be spread out in public by the time of Oscar Wilde? (I don't really think so though ... I mean, when did Marquis de Sade wrote his 120 days of Sodom? :) ) So what we read in Hornby's work is just a common cost of being witty ... by being a bit out of necessity.
Anyway, they are funny and refreshing. Personally, I always like the poetry borne out of daily and mundane objects of life. Kind of descriptions you'll find in the books of Arundhaty Roy (yes mbak Lenje, I finally read them) or Steinbeck or Gabriel Garcia Marquez. But it IS refreshing that the same quality of celebration of life daily mundane aspects (such as man insecurity, and man's thought and man's dreams) can still be drawn out of pure wit, in the form of simple jokes, without being at all poetic.

Friday, July 15, 2005

Hush ...

Image hosted by Photobucket.com Di salah satu album Ella Fritzgerald, seorang pengiringnya sempat memuji ikon vokal Jazz ini sebagai 'first and foremost jazz musician' karena cerdas dan tanggapnya sang vokalis beradu improvisasi versus alat musik yang tengah mengiringinya. Vokalisasi yang lebur jadi bagian dari keseluruhan musik. Bukan sebagai highlight yang mesti dilayani, bukan pula sebagai pulasan latar belakang.
Vokalis semacam yang paling saya suka adalah Boby McFerrin. Musik McFerrin biasa berisi gumam tanpa kata yang disenandungkan bersama alat-alat musik lain. Vokalnya menjelma jadi instrumen tersendiri yang memberi warna tak tergantikan dari keseluruhan musik. Terlahir dari pasangan orang tua yang sama-sama musisi klasik, McFerrin berangkat dari jazz, dilabeli stimmwunder (the magic voice) oleh kritikus musik Jerman yang dikenal nyinyir, untuk kemudian juga meruak merambah dunia musik kamar dan simfoni.
Ada beberapa album McFerrin yang jadi repertoir favorit saya, kerja barengnya dengan The Yellow Jackets dan Chic Corea adalah dua contoh. Namun satu yang paling ‚ringan’ sekaligus ‚cemerlang’ adalah 'Hush' hasil kolaborasinya dengan Yo-Yo Ma. Berisi 13 nomor, di mana vokal McFerrin bersahutan dengan gesekan cello Ma. Album ini benar-benar terasa sebagai hasil kerja yang serius dalam bermain-main. Karena latar belakang klasik kedua pemusiknya, tak mengejutkan bila album ini kemudian banyak diberkati oleh nomor2 besutan Bach dan Vivaldi. Salah satunya adalah Andante from Concerto in D minor nya Vivaldi, piece ini sebenarnya ditujukan buat dua mandolin untuk saling bersahutan. Well, di sini mandolin pertama diambil alih oleh Ma, sementara mandolin kedua ... diisi oleh vokalisasi McFerrin. Hasilnya? Unik!
Suka "The Flight of Bumble bee" nya Rimsky-Korsakov? Mesti coba dengar interpretasi kedua pemusik ini!! Selihai-lihainya alat musik dipetik atau digesek untuk menghasilkan efek buzzing dari lebah madu, tetap saja kalah gereget dibanding liukan vokal seorang McFerrin. Di nomor ini cello Ma bernyanyi solid sementara vokal McFerrin menyenggak di sana-sini menciptakan efek hidup yang susah dicari padanannya. Lain ceritanya dengan Ave Maria nya Bach, di mana senandung a la chanting McFerrin bertindak sebagai penjaga ritme di latar belakang sementara cello Ma berkisah kalem perihal devosi melodius buat bunda Yesus.
Buat saya, nomor paling sedap dari album yang -konon kabarnya- dimaksudkan untuk 'membangunkan anak-anak dalam diri setiap orang dewasa' (demikian McFerrin-Ma dalam introduksi mereka) adalah 'Hush Little Baby'. Nomor tradisional yang dibawakan begitu melebar, playful, carefree. Cello Ma dipetik, digesek, kedengaran juga tepukan, berbagai variasi vokal, suara ketawa ... cuma di lagu ini pula bisa dinikmati McFerrin menyanyi.
Keberanian keduanya untuk bermain-main, untuk dengan serius mencoba jadi nggak serius, punya efek sugestif tersendiri. Memulai pagi dengan kopi fresh roast berteman musik satu ini seolah ada keyakinan sederhana yang lahir dari ketiadaan, mengumpul di tengah diri bak embun di lekuk daun. Sebuah iman bahwa meski setumpuk target dan kewajiban menumpuk sesak di tiap tikungan jam dan menit, semua bakal baik-baik saja hari ini ...

Friday, June 17, 2005

Campur sari interpretasi

Salah satu jenis kerja musik yang saya paling doyan jelajahi adalah reinterpretasi satu sekolah musik oleh seseorang dari luar aliran bersangkutan.
Hasilnya seringkali adalah karya yang ajaib dan segar betul.
Image hosted by Photobucket.comSalah satunya, adalah ketika Chick Corea, die wunderkind, mantan pianis Lionel Hampton yang ramuan tuts keyboard nya ranging dari imajinatif sampai bikin pusing kepala itu (iya lho ... baru setelah denger beberapa album 'eksperimental'nya saya ngaku kalo keyboard ternyata sangat bisa dibikin jadi semembingungkan instrumen tiup di bibir Coltrane) main bareng Friedrich Gulda dan Harnoncourt. Dua pianis yang disebut belakangan itu namanya sering terdengar di belantika musik klasik. Gulda sering tersua kalo lagi nyari CD nya Beethoven, sementara Harnoncourt lebih sering main musik dari jaman baroque. Itu juga kalau nggak salah. Abis gimana, saya kan sebenernya buta musik, cuma ngerti dengerin dan bilang sreg atau nggak ...
Biar begitu, ketika denger trio Corea, Gulda dan Harnoncourt main concerto piano no. 23 dan 26 nya Beethoven dengan dikawal Royal concertgebouw (konon orkestra nomor satunya Belanda) ... ada sesuatu yang menyeruak naik. Kegairahan yang berbeda dari interpretasi-interpretasi Bethoven lain yang pernah saya dengar. Tempo yang longgar, dan begitu cerdas dimain-mainkan. Dan ah .. ah .. di interpretasi Bethoven mana lagi bisa didengar salah satu pianis tiba-tiba berhenti main dan sekedar mengikuti lajunya beat dengan tepukan tangan ritmis satu dua satu dua ?
Image hosted by Photobucket.comKarya lain yang saya suka, adalah Yo Yo Ma playing the music of Astor Piazzola. Menurut sahibul cerita, Astor Piazzolla adalah pendekar bandoneon yang merevitalisasi tango di jagad musik Argentina. Sementara Yo Yo Ma? yang saya tahu sih, cellist kelahiran Paris ini lebih sering saya lihat di cover CD yang mengusung Brahms, Schumann atau Mozart. Tapi pas si bapak berkacamata ini menggesek cellonya demi nama Astor Piazzolla ... wah ... saya seperti diterbangkan begitu saja ke ranah latin dimana gairah bertebaran di udara seperti serbuk bunga.
Album Ma bertahun 1997 ini dibuka oleh 'libertango', yang tempo monoton menghentaknya menjelma jadi ajakan untuk tak kepalang tanggung melebur dalam passion dan gelegak. Dan sepanjang Cd ... duh, itu cello bisa-bisanya seolah berubah-ubah bunyi. Terkadang miris terkadang galak, nggak kalah tangguh dari bandoneon yang -sebelum dengerin CD ini- terkesan paling pas menceritakan Tango.
Ya, dua album di atas itu lah yang bikin saya nggak lelah berburu campur sari interpretasi lain. Kerja dari manusia-manusia yang tak betah untuk dibatasi oleh pagar-pagar maya yang membelenggu begitu banyak kolega mereka. Mendengar dan menikmati mereka bermain-main di luar zona nyaman masing-masing seolah menginspirasi diri untuk selalu berbuat serupa ...

Tuesday, May 03, 2005

Merayakan Kemanusiaan Yang Tak Sempurna

Kazuo Ishiguro: “The Artist of The Floating World” dan “The Remains of The Day”

Image hosted by Photobucket.comMenikmati buku-buku Ishiguro bisalah dibayangkan bak berjalan-jalan menikmati taman jalan bercecabang a la Luis Borges. Meski baru dua buku Ishiguro yang sempat mampir di tangan, keduanya bicara dengan langgam yang mirip. Bicara sebagai orang pertama yang menjalani hari-hari musim gugur kehidupan, tokoh-tokoh Ishiguro menemukan diri mereka reminiscing, mengingat berbagai hal yang lewat sudah. Dan dengan memanggil kembali percakapan-percakapan lama, kenangan dan kesan lalu, mereka mendefinisikan harapan-harapan, menemukan keinsyafan-keinsyafan baru.
Mengapa jalan bercecabang?
Dalam bukunya ‘The Artist of the Floating World’ maupun ‘The Remains of The Day’, tak ada plot serba tahu serba linier yang membuka mengembang di hadapan pembaca. Sebaliknya, digresi, lamunan, loncatan-loncatan cerita berbelak-belok dengan luwesnya di sepanjang teks. Pembaca seolah diajak untuk berjalan-jalan di labirin taman benak tokoh-tokohnya.
Dalam The Artist of The Floating World, adalah Matsuji Ono yang membawa kita melihat derap perubahan di Jepang masa setelah Perang Dunia. Bukan hanya mencicipi arus perubahan di permukaan kulit, namun juga menyelam ke masa lalu Ono di era militerisme Nipon. Dan dalam drama yang nyaris tanpa gelegak eksplisit, pembaca di bawa melihat perubahan dan ketaksempurnaan hidup seorang manusia, melalui deskripsi olah emosi dan pergeseran cara pandang yang subtil.
Setting berbeda tersaji dalam The Remains of The Day, di mana narasi tersampaikan melalui seorang butler Inggris. Setting waktu masa krisis Terusan Suez berdiri bisu di belakang, sementara sudut pandang seorang butler (yang terasa benar serupa mitos di sini) akan gilang gemilang karir diplomasi tuannya jadi bahan pemikiran yang asyik sungguh. Juga di buku ini, kita dibawa bermain dalam masa lalu sang protagonis. Masa lalu yang tak obyektif. Masa lalu sebagaimana sang tokoh melihat, mengalami dan memaknainya. Masa lalu yang terkadang tersua sebagai sesuatu yang sama sekali berbeda ketika dialog bersambung dengan tokoh lainnya.
Maka tak pelak lagi, simpati pun mengalir buat tokoh-tokoh Ishiguro. Yang sama-sama tak sempurna. Tak sempurna dalam sempitnya cara pandang. Tak sempurna dalam bertutur, bertindak dan berpikir. Di pihak lain, cara cerita retrospektif a la Ishiguro juga tak menawarkan keinsyafan yang khas cerita agama. Alih-alih, ia menawarkan solusi alternatif tentang ketaksempurnaan: untuk jadi puas akan apa yang telah terjadi, tntuk merayakan kemanusiaan yang memang takdirnya untuk jadi tak sempurna.
Menarik juga untuk memperhatikan mulusnya tokoh-tokoh Ishiguro bertutur, santun dan serba terukur. Jadi lebih menarik lagi jika disadari bahwa keduanya berlatar berbeda, yang seorang seniman Jepang sedang yang lain butler Inggris: betapa mirip laras bahasa dan cara merasa keduanya. Meski demikian, kemiripan tadi tak terasa dipaksakan. Sebaliknya, justru terasa sungguh natural. Tak ayal, mata kita mesti tertumbuk pada sang pengarang, si pemintal benang cerita. Kazuo Ishiguro, lahir di Nagasaki beberapa tahun setelah usainya perang dunia kedua. Di usia sembilan tahun, orang tua Ishiguro hijrah ke Inggris. Karena berencana untuk kembali ke Jepang dalam waktu dekat, Ishiguro kecil dididik dalam tradisi Jepang yang kental. Sang kala bicara lain, keluarga Ishiguro menetap di Inggris dan mengenyam pendidikan tinggi di universitas negerinya Shakespeare itu. Dengan modal pemahaman akan dua budaya berbeda inilah tokoh-tokoh Ishiguro jadi tergambarkan hidup dan dinamis, meski tetap berbagi ketaksempurnaan yang sama. Sebagaimana semua kita.

Thursday, March 17, 2005

Magi Improvisasi

Image hosted by Photobucket.comKeith Jarrett, terlahir di Amerika dari keluarga berakar kuat di Eropa, adalah salah satu pianis yang merambah begitu banyak medan musik. Dibesarkan dalam tradisi piano klasik, Jarrett menulis dan menerbitkan beberapa album solo klasik. Namun namanya -kalau nggak salah- sempat terbawa juga bersama charles Lloyd Quartet, dan setelahnya bersama band nya Miles Davis, sebagai pianis kedua, siapa pianis pertamanya? Yup, the great Chick Corea.
Namun dari deretan albumnya (yang buanyak nya minta ampun, dan baru sepersepuluhnya sempat mampir di telinga yang sangat tergantung pada kelengkapan perpustakaan musik Hannover ini ...), ada serentet komposisi unik: improvisasi solo. Improvisasi yang beneran improvisasi, berasal dari ketiadaan. Bukannya improvisasi dalam definisi jazz tradisional yang memain-mainkan 'tune' dari komposisi yang sudah ada lebih dulu. Improvisasi solo nya Jarrett (setidaknya demikian pengakuannya) adalah ledakan inspirasi yang tak terencana hingga saat ia duduk di depan piano dan audiens.
Gila? Mungkin sedikit ...
Tapi kalau anda sempat dan (kira-kira) suka (ama yang gila-gila), silakan coba dengarkan salah satu album improvisasi Jarrett, dan kalau saya boleh beri saran, coba yang satu ini: The Köln concert.
Direkam tahun 1975 live di Köln. Kota tempat gereja dengan menara tertinggi di dunia berada, di lembah sungai Rühr kalau nggak salah ingat.
Dalam album itu, gelegak nada mengalir ritmis dari jemari Jarrett. Pulasan vokalisasi sang pianis menyedak di sini sana, seolah ektasi datang tersua. Keseluruhan komposisi piano yang digelar di sana, tak salah lagi, adalah magi. Liris, sekali-kali emosional, sekali-kali malas, lalu menghentak, berhenti nakal, berpura-pura, melena. Meledak.
Track IIA dan IIB yang panjangnya hampir 40 menit itu sudah jadi favorit saya tiap kali benak ini butuh inspirasi. Begitu kaya piano Jarrett bicara, hingga tiap kali musiknya dimainkan, tiap kali pula detil kecil baru tertangkap ...
Siapa bilang sihir tak hadir di dunia mutakhir?