Apa yang sebenarnya ditawarkan oleh sebuah grafik dari sebuah ‘novel grafik’? Apa yang membedakannya dari novel, tanpa grafik?
Ilustrasi yang menghiasi, dan jadi bagian dari narasi adalah seni tersendiri. Ia memperkaya, membantu menciptakan atmosfer, merangsang ujung-ujung saraf yang berbeda dari yang diarah oleh narasi. Ilustrasi akan senantiasa mengisyaratkan tafsir. Namun saya kira ilustrasi yang baik bukanlah tafsir yang membatasi, ia lebih seperti semacam ujaran, saran. Mungkin karena itu, ilustrasi selalu bisa dipisahkan dari narasi dari mana ia berasal. Sonder ilustrasi, narasi akan tetap bercerita bagi pembacanya.
Di lain pihak, novel grafik memakai grafik sebagai mediumnya bercerita. Narasi ada pada grafik itu sendiri. Bukan cuma pada huruf-huruf yang mengemukakan dialog, ia ada pada goresan pena, warna, mood dari masing-masing panel. Dan seperti halnya tiap penulis novel tanpa grafik punya kekhasannya sendiri dalam memilih diksi, cara bercerita dan sudut pandang, tiap kreator novel grafik punya kemerdekaannya dalam menentukan isi tiap-tiap panelnya. Warna, detil, sudut pandang. Pun ekonomi dialog. Charles Schulz, penulis Snoopy pernah tertangkap tangan berkata “Bagian tersulit dari melukis Snoopy adalah menentukan apa yang akan dikatakan, atau tidak katakan, oleh masing-masing figur.” Well, batasan ruang dari Snoopy sebagai komik selarik memang membuat ekonomi dialog jadi penting. Tapi saya kira, menulis terlalu banyak kata dalam satu novel grafik terasa sebagai pengkhianatan atas identitas grafik novel itu sendiri. Mungkin itu sebabnya, meski masih tetap menikmati karya2 nya Art Spiegelman, saya lebih suka membaca Persepolis nya Marjane Satrapi. Buat selera saya, beberapa novel Spiegelman terkadang mengambil terlalu banyak tempat untuk teks.
Marijane Satrapi terlahir di Rahst, Iran tahun 1969. Terlahir di keluarga progresif yang kemudian menetap di Tehran, Satrapi bertumbuh bersama gelombang naik turun politik Iran. Novel grafik Satrapi, Persepolis I, adalah autobiografi yang menarik dari seorang saksi mata penggulingan Shah Iran oleh Ayatollah Khomeini dan perang Iran-Irak yang menyusul sesudahnya. Lebih menarik lagi, sang saksi mata adalah seorang anak yang tengah beranjak dewasa. Saya kira pilihan untuk menulis autobiografi ini sebagai novel grafik adalah strategi yang cerdas. Disuguhkan dalam komposisi hitam putih, dengan garis-garis tegas dan sederhana, panel-panel Persepolis terasa inosen, jujur dan apa adanya. Jadi inosen, atau jujur atau apa adanya, sesungguhnya adalah pilihan yang sungguh berani jika diambil secara sadar. Seringkali semua karakter tadi terbaca sebagai bodoh, naif, dan tidak realistis di dunia di mana relativitas bersimaharaja. Relativitas, berubah cepatnya nilai-nilai di sekeliling, revelasi akan kapasitas manusia untuk jadi brutal (kontras dengan imaji, atau mimpi, tiap orang bahwa manusia terlahir baik) adalah latar belakang Persepolis I. Disandingkan dengan cerdas, inosensi yang lahir dari kesederhanaan grafik dan kekalutan yang tengah digambarkan oleh keseluruhan novel ini jadi materi baca yang menantang.
Persepolis I sebagaimana diterbitkan di Amerika sesungguhnya adalah Persepolis 1 dan 2 (sebagaimana mula-mula diterbitkan) yang digabung bersama. Sementara Persepolis II di Amerika adalah Persepolis 3 dan 4 yang diterbitkan jadi satu. Keseluruhan ‘seri’ bercerita dengan luwes, menyentuh tanpa banyak gaduh, tentang perjalanan hidup dan pemikiran seorang wanita Iran yang tidak bersetujuan dengan ‘filosofi nasional’ negaranya sendiri sebagaimana yang dirumuskan oleh mayoritas pemimpin bangsanya. Cerita seorang eksil, saya temukan selalu menarik. Tapi cerita seorang eksil yang dikemas dalam bentuk novel grafik? Sungguh sedap betul!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment